Thursday, May 30, 2013

Aku 'eps. 2'_Novel

Fiuh, dengusku kesal sambil menyandarkan punggungku pada senderan bangkuku.
“Ada apa lagi sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu aja terlihat terlalu lelah setiap habis membagikan kertas piket kelas? Bukankah ini sudah biasa kamu lakukan sejak setahun yang lalu, Cyl?” Tanya sahabatku, Suvanna, dengan tampang yang sepertinya mulai bosan melihatku seperti ini, terlihat murung dan lelah.
“Gimana aku enggak bete sih Van, kamu tahu kan Van kalau naik ke lantai 3 itu capek. Tapi bukannya aku lihat anak-anak kelas 1 yang baik-baik dan penuh senyum, eh malah lihat si cowo aneh. Masa dia selalu bilang ‘ngapain anak plus main-main kesini’ dengan nada yang ngeledek. Emang dia pikir dia siapa?!” Jawabku kesal setengah memarahi Suvanna, padahal kan bukan dia yang salah.
“Yee... kenapa jadi aku yang diomelin sih? Siapa sih cowo aneh itu? Awas kepincut, hehehe.”
Mendengar ledekan Suvanna membuat aku semakin bete dan memutuskan untuk tidak menanggapi omongan yang menurut aku sangat ngawur. Enggak kebayang deh kalau sampai aku jadian sama seorang Dinat yang nyebelin itu, bisa stres tiap harinya diledek sama itu bocah brondong.
“Kalau sampai jadian sama cowo aneh itu, jangan lupa traktir-traktir ya...hehehe...” Lanjut Gityara meledek. Setelah puas membuat aku semakin bete, mereka pun mulai membicarakan topik lain yang aku sendiri tidak fokus mendengarkan justru aku mulai melamun.
Memang akhir-akhir ini setiap harinya  terlewati dengan rasa bete, apalagi setiap harus membagikan kertas piket ke kelas-kelas, terutama ke lantai 3 dimana kelas Dinat berada. Memang Dinat tidak melakukan kesalahan yang fatal atau berlaku kurang ajar padaku, tapi bagaimana tidak kesal kalau setiap bertemu dengannya pasti selalu dia ungkit mengenai program kelas kita yang berbeda. Dinat yang merupakan siswa program reguler sedangkan aku merupakan siswi program plus. Selama aku bersekolah di SMA ini, aku selalu tidak suka perbedaan antara plus dan reguler. Karena bagiku tak ada spesialnya menjadi anak plus ataupun reguler, semua sama dan berada di bawah satu yayasan yang sama.
Rasa bosan itu semakin mendera apalagi mengingat ada rasa rindu yang tersirat setiap ada yang membicarakan sang mantan yang sedang berjuang latihan untuk pengibaran di Kabupaten. Entah kenapa, padahal sudah hampir 3 bulan setelah berpisah dengannya dan hubungan kami pun juga enggak lama Cuma 13 hari, tapi rasa rindu itu jadi muncul lagi. Ya ampun, kenapa jadi mikirin Jenaf sih... jelas-jelas sekarang kan aku lagi PDKT sama si Lefan, ckckck.
Tapi kalau diinget-inget lucu juga waktu dulu aku sama Jenaf, kita kelamaan PDKT jadi waktu pacaran malah jadi terasa aneh. Apalagi dulu aku bodoh banget bisa percaya omongan orang lain yang syirik sama aku dan Jenaf, aku terlalu percaya tentang Jenaf yang enggak benar semua, yang akhirnya malah menghancurkan hubungan kami sendiri.
Jenaf begitu baik apalagi selama kita berdua masih kompak sebagai capas mewakili SMA kami untuk pengibaran dulu. Dia perhatian, lucu, gemesin dan yang paling unik rambutnya yang mirip jambul marmut. Tahu kan hewan marmut yang mirip tikus itu tapi banyak bulunya, Jenaf itu mirip sama marmut makanya aku senang banget manggil dia marmut dan dia manggil aku bebek karena aku cerewet kayak bebek katanya.
Banyak yang berharap aku balik lagi dengan Jenaf, tapi enggak sedikit juga yang terus support aku jadian sama Lefan. Satu dalam prinsip aku, yang lalu ya biarlah berlalu walau biasanya aku selalu memberikan kesempatan kedua pada mantan-mantanku, tapi kayaknya tidak untuk Jenaf. mungkin kita memang lebih cocok sebagai teman atau sahabat.
“Woy Secyl! Ngelamun aja ih, tuh kamu gak sadar pak Laturian sudah masuk! Makanya jangan mikirin Dinat aja.” Kata Suvanna setengah berteriak membangunkan aku dari lamunan rasa rindu terhadap Jenaf dan langsung meledekku.
Untung saja Suvanna tidak tahu bahwa yang aku lamunkan bukan Dinat, tapi Jenaf. Karena rasa rindu yang terlalu dalam pada Jenaf, aku jadi melamun tentang dia padahal kan belum tentu Jenaf memikirkan aku di medan perjuangan lapangan pengibaran Kabupaten itu. Untung saja Suvanna membangunkan aku dari lamunanku, kalau sampai pak Laturian tahu aku melamun, beuh bakal disuruh tutup pintu dari luar kali.
Mengenai pak Laturian aku juga punya ceritanya, beliau adalah seorang guru mata pelajaran. Pak Laturian termasuk guru yang tegas, baik, unik, tapi sedikit membosankan, ya mungkin karena aku yang kurang bahkan sangat tidak menyukai mata pelajaran yang beliau ajarkan sehingga terasa sangat membosankan.
Pak Laturian Pramajata bukan hanya seorang guru biasa, tapi beliau juga merupakan salah satu murid eyang putriku selama beliau bersekolah di salah satu Universitas negeri di Indonesia. Hal ini sungguh menyiksaku, menjadi seorang cucu dosen Fisika di salah satu Universitas ternama namun aku sama sekali tidak menyukai mata pelajaran tersebut. Apalagi setiap dapat soal dari pak Laturian yang harus dikerjakan di papan tulis, bakal kelihatan bodohnya diriku terhadap Fisika dan pak Laturian akan segera berkata ‘memalukan, cucu seorang dosen Fisika kok malah tidak mengerti sama sekali pelajaran Fisika?!’. Dan jika sudah keluar kalimat tersebut, aku hanya dapat diam, merengut, dan mengutuki diri sendiri kenapa begitu bodohnya diriku terhadap mata pelajaran ini.
Selama 2 jam mata pelajaran pak Laturian berlangsung biasanya kerjaan aku dan sahabatku Gityara adalah mengobrol atau chat lewat kertas. Namun pemilik nama lengkap Gityara Caneva Mugistra ini masih lebih memperhatikan pak Laturian dibandingkan aku yang lebih memilih mencoret-coret buku tulis dengan puisi-puisi jika Gityara sedang tidak ingin mengobrol.
Gityara, hmm pemilik nama ini selalu membuat aku tersenyum. Walaupun sahabatku bukan hanya dia tetapi Gityaralah yang paling dekat denganku. Mungkin juga dikarenakan rumah kami yang berdekatan sehingga kami lebih sering bertemu dibandingkan dengan Suvanna. Hobi kami pun yang tidak berbeda jauh seolah semakin merekatkan tali persahabatan kami. Gityara Caneva Mugistra si pecinta kucing, komik-komik romantis Jepang dan novel teenlit, yup itu semua juga kesukaanku. Bagiku Gityara adalah sosok perempuan yang sebenarnya, ia bisa memasak, menjahit, beberes rumah, pintar di sekolah dan sangat lembut dalam bertutur. Aku rasa jika aku seorang laki-laki, aku pasti mencari perempuan layaknya sosok Gityara, I think she is the best woman I ever met after my mom.
“Baik Secyl giliran kamu menjawab nomor tiga.” Pak Laturian pun mengagetkanku dengan perintahnya yang menjengkelkan.