Fiuh,
dengusku kesal sambil menyandarkan punggungku pada senderan bangkuku.
“Ada apa lagi sih? Kenapa akhir-akhir
ini kamu selalu aja terlihat terlalu lelah setiap habis membagikan kertas piket
kelas? Bukankah ini sudah biasa kamu lakukan sejak setahun yang lalu, Cyl?”
Tanya sahabatku, Suvanna, dengan tampang yang sepertinya mulai bosan melihatku
seperti ini, terlihat murung dan lelah.
“Gimana aku enggak bete sih Van, kamu
tahu kan Van kalau naik ke lantai 3 itu capek. Tapi bukannya aku lihat
anak-anak kelas 1 yang baik-baik dan penuh senyum, eh malah lihat si cowo aneh.
Masa dia selalu bilang ‘ngapain anak plus main-main kesini’ dengan nada yang
ngeledek. Emang dia pikir dia siapa?!” Jawabku kesal setengah memarahi Suvanna,
padahal kan bukan dia yang salah.
“Yee... kenapa jadi aku yang diomelin
sih? Siapa sih cowo aneh itu? Awas kepincut, hehehe.”
Mendengar ledekan Suvanna membuat aku
semakin bete dan memutuskan untuk tidak menanggapi omongan yang menurut aku
sangat ngawur. Enggak kebayang deh
kalau sampai aku jadian sama seorang Dinat yang nyebelin itu, bisa stres tiap
harinya diledek sama itu bocah brondong.
“Kalau sampai jadian sama cowo aneh
itu, jangan lupa traktir-traktir ya...hehehe...” Lanjut Gityara meledek.
Setelah puas membuat aku semakin bete, mereka pun mulai membicarakan topik lain
yang aku sendiri tidak fokus mendengarkan justru aku mulai melamun.
Memang akhir-akhir ini setiap harinya terlewati dengan rasa bete, apalagi setiap
harus membagikan kertas piket ke kelas-kelas, terutama ke lantai 3 dimana kelas
Dinat berada. Memang Dinat tidak melakukan kesalahan yang fatal atau berlaku
kurang ajar padaku, tapi bagaimana tidak kesal kalau setiap bertemu dengannya
pasti selalu dia ungkit mengenai program kelas kita yang berbeda. Dinat yang
merupakan siswa program reguler sedangkan aku merupakan siswi program plus.
Selama aku bersekolah di SMA ini, aku selalu tidak suka perbedaan antara plus
dan reguler. Karena bagiku tak ada spesialnya menjadi anak plus ataupun
reguler, semua sama dan berada di bawah satu yayasan yang sama.
Rasa bosan itu semakin mendera apalagi
mengingat ada rasa rindu yang tersirat setiap ada yang membicarakan sang mantan
yang sedang berjuang latihan untuk pengibaran di Kabupaten. Entah kenapa,
padahal sudah hampir 3 bulan setelah berpisah dengannya dan hubungan kami pun
juga enggak lama Cuma 13 hari, tapi rasa rindu itu jadi muncul lagi. Ya ampun,
kenapa jadi mikirin Jenaf sih... jelas-jelas sekarang kan aku lagi PDKT sama si
Lefan, ckckck.
Tapi kalau diinget-inget lucu juga
waktu dulu aku sama Jenaf, kita kelamaan PDKT jadi waktu pacaran malah jadi
terasa aneh. Apalagi dulu aku bodoh banget bisa percaya omongan orang lain yang
syirik sama aku dan Jenaf, aku terlalu percaya tentang Jenaf yang enggak benar
semua, yang akhirnya malah menghancurkan hubungan kami sendiri.
Jenaf begitu baik apalagi selama kita
berdua masih kompak sebagai capas mewakili SMA kami untuk pengibaran dulu. Dia
perhatian, lucu, gemesin dan yang paling unik rambutnya yang mirip jambul
marmut. Tahu kan hewan marmut yang mirip tikus itu tapi banyak bulunya, Jenaf
itu mirip sama marmut makanya aku senang banget manggil dia marmut dan dia
manggil aku bebek karena aku cerewet kayak bebek katanya.
Banyak yang berharap aku balik lagi
dengan Jenaf, tapi enggak sedikit juga yang terus support aku jadian sama
Lefan. Satu dalam prinsip aku, yang lalu ya biarlah berlalu walau biasanya aku
selalu memberikan kesempatan kedua pada mantan-mantanku, tapi kayaknya tidak
untuk Jenaf. mungkin kita memang lebih cocok sebagai teman atau sahabat.
“Woy Secyl! Ngelamun aja ih, tuh kamu
gak sadar pak Laturian sudah masuk! Makanya jangan mikirin Dinat aja.” Kata Suvanna setengah berteriak
membangunkan aku dari lamunan rasa rindu terhadap Jenaf dan langsung meledekku.
Untung saja Suvanna tidak tahu bahwa yang aku lamunkan bukan Dinat, tapi Jenaf. Karena rasa rindu yang terlalu dalam
pada Jenaf, aku jadi melamun tentang dia padahal kan belum tentu Jenaf
memikirkan aku di medan perjuangan lapangan pengibaran Kabupaten itu. Untung
saja Suvanna membangunkan aku dari lamunanku, kalau sampai pak Laturian tahu
aku melamun, beuh bakal disuruh tutup
pintu dari luar kali.
Mengenai pak Laturian aku juga punya
ceritanya, beliau adalah seorang guru mata pelajaran. Pak Laturian termasuk
guru yang tegas, baik, unik, tapi sedikit membosankan, ya mungkin karena aku
yang kurang bahkan sangat tidak menyukai mata pelajaran yang beliau ajarkan
sehingga terasa sangat membosankan.
Pak Laturian Pramajata bukan hanya
seorang guru biasa, tapi beliau juga merupakan salah satu murid eyang putriku
selama beliau bersekolah di salah satu Universitas negeri di Indonesia. Hal ini
sungguh menyiksaku, menjadi seorang cucu dosen Fisika di salah satu Universitas
ternama namun aku sama sekali tidak menyukai mata pelajaran tersebut. Apalagi
setiap dapat soal dari pak Laturian yang harus dikerjakan di papan tulis, bakal
kelihatan bodohnya diriku terhadap Fisika dan pak Laturian akan segera berkata
‘memalukan, cucu seorang dosen Fisika kok malah tidak mengerti sama sekali
pelajaran Fisika?!’. Dan jika sudah keluar kalimat tersebut, aku hanya dapat
diam, merengut, dan mengutuki diri sendiri kenapa begitu bodohnya diriku
terhadap mata pelajaran ini.
Selama 2 jam mata pelajaran pak
Laturian berlangsung biasanya kerjaan aku dan sahabatku Gityara adalah
mengobrol atau chat lewat kertas. Namun pemilik nama lengkap Gityara Caneva
Mugistra ini masih lebih memperhatikan pak Laturian dibandingkan aku yang lebih
memilih mencoret-coret buku tulis dengan puisi-puisi jika Gityara sedang tidak
ingin mengobrol.
Gityara, hmm pemilik nama ini selalu
membuat aku tersenyum. Walaupun sahabatku bukan hanya dia tetapi Gityaralah
yang paling dekat denganku. Mungkin juga dikarenakan rumah kami yang berdekatan
sehingga kami lebih sering bertemu dibandingkan dengan Suvanna. Hobi kami pun
yang tidak berbeda jauh seolah semakin merekatkan tali persahabatan kami.
Gityara Caneva Mugistra si pecinta kucing, komik-komik romantis Jepang dan
novel teenlit, yup itu semua juga
kesukaanku. Bagiku Gityara adalah sosok perempuan yang sebenarnya, ia bisa
memasak, menjahit, beberes rumah, pintar di sekolah dan sangat lembut dalam
bertutur. Aku rasa jika aku seorang laki-laki, aku pasti mencari perempuan
layaknya sosok Gityara, I think she is the best woman I ever met after my mom.
“Baik Secyl giliran kamu menjawab nomor
tiga.” Pak Laturian pun mengagetkanku dengan perintahnya yang menjengkelkan.