Monday, February 2, 2015

Televisi Anak

Hai Gaesss.. Ogenki desu ka? (Artinya apa kabar dalam bahasa Jepang)
Sy harap semua dalam keadaan yang baik dan bahagia yaa... Weitsss It's Monday? Don't worry, it will end in 24 Hours so enjoy it.. (sok Inggris bgt ini, salah maaf yakk)
Di pagi menjelang siang ini, ditengah-tengah KKL (Kuliah Kerja Lapangan) yang sedang sy lakukan, tiba-tiba sy mendapat ide untuk membahas satu masalah penting bagi masyarakat Indonesia yang merupakan konsumen televisi. Bukan mengenai acara apa atau di saluran yang mana yang akan sy bahas saat ini, namun mengenai televisi berlangganan seperti In**vi**on dan kawan lainnya yang sejenis dengan perusahaan yang memberi layanan berupa televisi berlangganan.

Televisi berlangganan ini tidak hanya dapat menyiarkan saluran televisi pemerintah maupun swasta nasional, namun juga dapat menangkap saluran internasional. Keuntungan yang didapat dengan menggunakan televisi berlangganan ini adalah semakin luasnya informasi yang dapat diterima oleh pemirsa dari berbagai mancanegara, serta dengan adanya saluran khusus yang dapat dinikmati oleh pemirsa juga. Maksud dari saluran khusus ini adalah seperti saluran khusus olahraga yang menayangkan acara olahraga dari pagi hingga malam, atau khusus anak-anak, khusus dewasa, khusus drama, dan lainnya. Seorang ayah yang ingin menikmati saluran olahraga dapat tinggal menikmati satu saluran olahraga yang biasanya tanpa iklan (sekalipun ada biasanya sangat sebentar), ibu yang ingin menikmati acara demo memasak pun juga tinggal memindahkan saluran televisi khusus memasak, serta anak yang ingin menikmati acara kartun juga dapat langsung memindahkan saluran ke acara anak-anak. Namun..... ada satu masalah yang terlupakan dari kemudahan yang diberikan televisi berlangganan tersebut, yaitu masalah ketika anak-anak dibawah umur dengan mudahnya mengganti saluran televisi bukan ke saluran anak-anak namun ke saluran khusus dewasa.

Hal ini menjadi pengalaman dari sy sendiri, bukan sy sebagai anak-anak yg menonton acara dewasa.... melainkan sepupu sy yg usianya belum menginjak remaja sedang asyik menikmati acara yang belum waktunya mereka konsumsi. Orang tua yang bekerja dengan penghasilan yang jauh dari cukup, tetapi berlebih. Maka, dapat memasang televisi berlangganan di rumahnya, namun mereka yang bekerja tidak dapat terus memantau apa yang dilakukan anak, apa yang ditontonnya saat mereka asyik memilih acara yang menurutnya menarik bagi mereka tanpa mereka ketahui apakah mereka sudah pantas melihat acara tersebut atau tidak.

Beberapa hari yang lalu sy memergoki sepupu sy yg sedang menonton acara remaja yang penuh dengan adegan mesra bahkan dengan kata-kata yang belum waktunya didengar oleh anak-anak seumurannya. Sepertinya televisi berlangganan tidak menerapkan sensor pada acara yang akan ditayangkan oleh mereka. Memang sensor pada televisi biasa saja sangat layak untuk ditertawakan, kenapa begitu? Karena sesuatu yang diblur justru akan mengundang pertanyaan bagi anak-anak yang penasaran dan ingin mengetahui gambar apa yang ditutupi tersebut. Dijaman sy kecil (anak-anak), sensor film tidak selebay itu, namun orang tua yang selalu ada dan mendukung untuk menonton televisi akan mengarahkan anaknya saat melihat acara di televisi.

Namun, untuk televisi berlangganan, yang lebih vulgar pun dapat ditemukan oleh anak-anak tanpa susah payah. Mereka akan semakin penasaran dengan apa yang belum mereka lihat di dunia nyata dan kemudian semakin sering melihat saluran televisi tersebut tanpa diketahui oleh orang tuanya, tanpa ada yang mendampingi dan mengarahkan mereka, maka mereka akan segera mempersepsikan sendiri apa yang mereka lihat. Baik ataupun buruknya tidak akan mereka ketahui dan pedulikan.

Jadi, apakah sebenarnya televisi berlangganan baik untuk anak? atau televisi biasapun kini juga semakin mengancam generasi masa depan? Atau orang tua kini semakin lengah dalam mendidik anak mereka? Atau lembaga sensor yang telah lengah dengan keberadaan televisi berlangganan? Entahlah, yang pasti saran dari sy adalah, apapun televisi yang Anda gunakan di rumah Anda, pastikan anak-anak dibawah umur dapat menikmatinya dengan pengawasan dari orang yang lebih tua (dewasa). Sehingga mereka dapat dibimbing saat melihat apa yang kurang baik untuknya.

Tanah Ini Masih Tanah Surga

       “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu….” Masih ingatkah kita pada penggalan lirik lagu tersebut? Lagu yang dinyanyikan oleh Koes Ploes dengan judul ‘Kolam Susu’ tersebut pertama kali diputar pada tahun 70–an, menceritakan betapa kayanya alam di Indonesia dan dengan iklim yang baik tanpa adanya topan maupun badai yang menghampiri. Namun apa kabarnya Indonesia kini? Semakin banyak alam yang rusak, bencana datang karena ulah masyarakatnya seniri, hingga polusi yang semakin merajalela, lalu masih pantas dan layakkah tanah kita ini disebut tanah surga? Bahkan diatas satu tumpengan nasi kuning dan kawan-kawannya dalam menyambut upacara adat pun berisi hasil pangan negara lain. Jika memang tanah kita adalah tanah surga, lalu masih haruskah kita impor aneka bahan pangan yang sebenarnya bisa kita dapatkan di tanah kita sendiri? Mirisnya, masih banyak hal lain yang kita dapatkan dari negara-negara tentangga lainnya, mulai dari gadget, otomotif, bahkan mainan anak-anak sekalipun bukan buatan asli negara kita. Sedikit demi sedikit yang kita miliki diakui oleh negara lain sebagai milik mereka. Kita ini merdeka? BELUM, jelas belum, sadarlah kita ini masih dan sedang dijajah. Memang tak seperti jaman perjuangan 45 dulu yang jelas kita berperang melawan penjajah di depan mata dengan menggunakan bambu runcing sebagai senjata sekedarnya melawan senjata api milik para penjajah. Tetapi kini kita tetap tak bisa diam, masih banyak hal yang perlu diperjuangan demi bangsa ini. Kita yang mengira telah benar-benar merdeka, sebenarnya sedang menjadi umpan lezat bagi negara-negara tetangga yang sebenarnya tahu dimana letak kelemahan kita.

            Mereka mengetahui dimana letak kelemahan kita, bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan sebenarnya kita sadar namun tidak berusaha memperbaiki. Semua memilih diam, mencoba menutupi dan pura-pura tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Kita ini terlalu mempedulikan dan mengangkat hal-hal kecil dan mengubur dalam-dalam hal-hal yang besar. Bukan maksud kita diamkan juga hal kecil, tetapi jangan kubur hal besar. Terlalu menonjolkan apa yang sebenarnya tidak terlalu masyarakat perlu untuk tahu. Masyarakat sudah terlalu hafal apa saja yang ada di negeri ini tanpa mereka tahu hal apa yang sebenarnya ada didalamnya. Tanpa mereka sadari hal itu sebenarnya sedang berusaha “menutupi” masalah lain yang seharusnya lebih menjadi pusat perhatian bangsa. Berhenti untuk tetap diam dan menutup mata, telinga serta mulut untuk mulai melakukan gerakan. Kita tahu dan memang harus tahu masalah utama yang sedang dialami negeri ini. Hentikan impor bahan pangan dan mulailah mengangkat bahan pangan negeri dan jika mampu lebih baik kita yang ekspor ke negara tetangga. Mulailah menyukai segala produk dalam negeri, bukan hanya berupa saran tetapi buktikan kalau produk dalam negeri mempunyai kualitas yang setara bahkan lebih baik dari produk luar.

            Selain itu, sadarkah bencana apa yang paling sering melanda negeri kita, khususnya ibu kota? Ya Banjir menjadi hal yang biasa. Mendengar musim rambutan, musim mangga, musim kemarau, musim hujan, lalu apa bisa dikatakan musim banjir dan dianggap hal yang biasa seperti musim-musim lainnya yang tadi disebutkan? Jangan hanya berkata, tetapi lakukanlah sebuah tindakan, jangan hanya mengandalkan orang tetapi cobalah mulai dari diri sendiri. Jangan terlalu dan selalu mengemis kinerja pemerintah untuk memperbaiki itu semua, tetapi cobalah berkaca apakah kiranya tindakan kita sendiri sudah benar dalam menghindari banjir. Apakah kita pernah berjuang demi bangsa, melindungi serta merawat sumber daya alam dan lingkungan negeri ini. Wujudkan sudut pandang kaca mata Koes Ploes dalam lirik lagu ‘Kolam Susu’, bahwa negeri kita ini kaya, negeri kita ini luar biasa, tanah air kita ini adalah tanah surga. Bangkitkan perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan, karena tanah surga ini terlalu indah untuk terjajah kembali.

Buka Mata, Buka Telinga, Untuk Bangsa

      Dapatkah kita mengatakan pendidikan di Indonesia dalam keadaan yang baik? Atau justru telah memasuki masa kritis dan miris? Seperti dalam hal terbukanya beraneka lomba dan olimpiade dalam bentuk penelitian ilmiah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Begitu banyak anak bangsa yang berminat dalam mengikuti beragam macam penelitian yang kemudian diserahkan pada suatu perlombaan maupun olimpiade tersebutr. Begitu besar minat mereka dalam membangun bangsa menjadi lebih baik dalam segala bidang dan tentunya dilihat dari segi pendidikan dengan mengikuti setiap lomba/olimpiade tersebut. Apalagi bila diperhatikan yang mereka teliti adalah kasus atau masalah yang ada di dalam bangsa. Undangan berbagai lomba maupun olimpiade terus berdatangan bahkan terbuka luas, bagi para siswa, mahasiswa, dosen maupun untuk umum.

      Bagi para pencari kasus (peneliti) yang ada dalam bangsa, ini merupakan tiket emas bagi mereka untuk membedah kasus-kasus yang ada di dalam bangsa dan kemudian dipublikasikan. Mereka pun terus mengasah otak guna mencari segala kasus dan membedahnya dengan berbagai teori maupun metodologi yang ada. Namun apakah penelitian yang mereka lakukan benar-benar berguna bagi bangsa dan negara? Mereka yang terus berpikir kritis hanya menyuguhkan sejumlah materi dan teori tanpa adanya suatu gerakan berupa praktik maupun solusi untuk membenahi/memperbaikinya. Sekalipun ada segelintir kalimat atau paragraf yang berisi saran atau solusi, apakah bangsa benar-benar melakukannya atau setidaknya memikirkan saran yang ada dan diaplikasikannya guna memperbaiki bangsa? Dari berbagai pernyataan dan pertanyaan yang ada, hal yang paling mengganggu pemikiran adalah, apakah penelitian-penelitian yang dilakukan hanya akan menjadi beban bagi para peneliti bangsa atau sekedar ‘embel-embel’ (basa basi) pendidikan?

       Masalah pertama dan yang paling utama menjadi penghalang kemajuan bangsa di dalam bidang pendidikan adalah kesulitan dalam menyatakan suatu pendapat. Para peneliti masih merasa sulit untuk menembus berbagai kasus yang ada di dalam bangsa dengan alasan ketakutan dalam berpendapat. Sampai salah kata berasumsi di dalam penelitiannya, maka akan menjadi bumerang bagi peneliti tersebut. Padahal pendapat pribadi peneliti bisa jadi sumber solusi besar dalam memperbaiki kasus bangsa yang ada. Betapa mirisnya jika disadari justru semakin banyak kasus di dalam bangsa yang hadir disebabkan oleh pendapat yang disampaikan. Pendapat peneliti yang tertulis dalam penelitiannya namun tidak didukung sumber terpercaya atau yang relevan maka akan dianggap sebagai suatu penelitian yang kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Padahal jika mereka perhatikan lagi isi dari pendapat pribadi peneliti tersebut, bisa jadi terdapat jawaban/solusi dari setiap permasalahan yang ada dalam bangsa. Bangsa ini terlihat kurang terbuka untuk orang-orang yang bagi mereka baru dalam bidangnya. Padahal orang-orang baru itu tak sepatutnya dipandang sebelah mata, karena bisa jadi merekalah yang berkemungkinan memiliki inteligensi yang tinggi dalam membangun bangsa menjadi lebih baik. Jangan sampai seolah bangsa terlihat tidak ingin benar-benar belajar apa yang sedang terjadi di dalam bangsa dan berapa banyak kasus-kasus yang ada didalamnya dan sudah berada di ujung tanduk.

      Kehebatan pendidikan di dalam negeri ini bukan hanya dilihat gratisnya biaya sekolah, kurikulum yang baik, ujian-ujian yang seolah mencari orang-orang yang benar-benar berprestasi yang bisa lulus sekolah, atau besarnya biaya yang turun sebagai modal penelitian mahasiswa serta dosen, tetapi apabila orang-orang yang dihasilkan dari pendidikan bisa menjadi orang yang membenah dan memperbaiki bangsa dan bukan hanya secara teoritis namun melalui praktiknya. Buktikan bahwa apa yang telah dididik oleh bangsa dapat ia kembalikan pula pada bangsa dan negaranya. Mulai sekarang cobalah untuk buka mata, buka telinga, untuk bangsa.