Sudah hampir dua bulan sejak Dinat
memutuskan untuk mencampakkan aku, dan kini aku berjalan sepi melewati trotoar
bersama sahabat baruku Rina. Berjalan santai dan pikiranku mulai kembali
menerawang masa lalu dan mulai diam walau Rina asyik berbicara. Aku dan Rina
berencana mencari buku di salah satu toko buku di dekat kampus kami, sebenarnya
kami berdua baru saling mengenal saat masuk ke Universitas yang sama dan
fakultas yang sama. Dan sejak saat itu aku berteman dekat dengannya, kami cukup
akrab apalagi kami memang pecinta buku walau berbeda minat. Sesampainya di toko
buku Rina terlihat sangat terobsesi mencari kesana kemari buku yang kira-kira
sesuai dengan permintaan dosen. Aku diam dan mulai melihat buku-buku di rak
yang lain walau pikiranku yang sesungguhnya tidak berada di tempat itu.
“Bagaimana menurutmu Cyl, apa kita
perlu membeli buku ini?” Tanya Rina sambil menunjuk ke arah buku yang dimaksud,
dan dia juga berhasil membangunkanku dari lamunanku.
“Menurutku itu bagus tapi kayaknya kurang cocok dengan yang kita
cari, memang berapa harganya? Kalau masih bisa kebeli mungkin bisa aja untuk
sekedar koleksi buku lu Rin.” Jawabku sambil mencoba menutupi supaya Rina tidak
sadar kalau sedari tadi aku hanya melamun.
Rina terlihat menimbang-nimbang,
sepertinya dia memang ingin sekali membeli buku itu. Lucu saat dia jatuh cinta
pada buku yang ada di toko tapi buku itu memiliki label harga yang tidak
berteman dengan dompet anak-anak mahasiswa macam aku dan Rina.
Aku memutuskan meninggalkan Rina yang
sibuk dengan buku-buku itu, aku terfokus mencari buku utama yang diminta oleh
dosen kemarin siang. Setelah mendapatkan yang aku cari, aku sengaja berjalan
ke arah rak buku yang diatasnya tertulis
‘NOVEL’. Maklum namanya juga pecinta buku terutama novel, kalau ke toko buku
tanpa beli novel namanya belum afdol, hehe.
Hmm gumamku saat membaca beberapa judul
novel yang aku lewati, menarik
batinku. Gubrak..
“Maaf.” Kata lelaki itu singkat sambil
mengulurkan tangannya membantu aku yang terjatuh setelah ditabraknya.
“Eh.. i..i..yaa..” Kataku terbata-bata
sambil menatap wajah laki-laki yang menabrakku itu, entah mimpi apa tadi malam bisa
ketemu sama cowok keren seperti dia.
“Kamu enggak apa-apa?” Tanyanya mulai
khawatir mungkin dia bingung karena aku terlihat melamun menatapnya. Segera aku
sadar dari lamunanku, sejenakku berpikir dia pangeran dari negeri kahyangan
mana yaa, haduh pikiran anak TK, hehe.
“Oh, gak, gak apa-apa.” Jawabku sambil
merapikan pakaian bagian belakangku yang kurasa terlipat saat aku jatuh tadi.
“Oh baguslah, maaf tadi aku lihat buku
yang sudah lama aku cari, jadi pengen buru-buru gitu sampai enggak lihat kamu
berdiri disitu. Aku Riziafo, panggil saja Rizi.” Jelasnya panjang lebar dengan
sedikit terengah-engah, mungkin karena tadi sedikit berlari atau karena takut
aku marah sembari mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku. Tapi
kata-katanya kalau tidak melihatku itu pasti bohong, mengingat badanku yang
tidak kalah dengan besarnya induk gajah. Huh
ingin mendengus kesal.
“Secylva, Panggil aja Secyl. Memang mau
ambil buku apa?” Jawabku dengan sok akrab mengingat sepertinya dia tidak beda
jauh umurnya dengan umurku dan membalas uluran tangannya, serta sekaligus
memberikan pertanyaan yang sengaja mencari-cari pembicaraan dengan lelaki
tampan itu.
“Hmm, buku apa ya? Duh kok jadi lupa.
Ya sudahlah lupain aja. Memangnya Secyl sendiri mencari buku apa? Pecinta novel
ya?”
“Gue sebenarnya ke toko buku ini mau
cari buku yang disuruh dosen sebagai buku wajib mata kuliah Algoritma, karena
sudah ketemu jadi gue jalan ke sini siapa tahu ada novel menarik.”
“Memang kamu kuliah dimana? Fakultas
apa? Sendiri kesininya?” Pertanyaan bertubi-tubi seperti itu membuatku merasa
diinterogasi, tapi kalau diinterogasi sama cowok setampan dia sih jadi terasa
bukan masalah.
“Di Univ. Galungdirganta, fakultas ilmu komunikasi,
engak sendiri kok, gue kesini sama teman gue namanya Rina tapi dia lagi diii...
dimana ya? Hmm dia lagi sibuk nyari buku sendiri jadi tadi aku tinggal, sampai
lupa. Sendirinya kuliah dimana dan fakultas apa? Sendiri kesininya?” Balasku
padanya.
“Wew ceritanya balas dendam nih
nanyanya? Aku kuliah di Univ. Pancaindera fakultas hukum. Aku baru semester tiga,
kalau kamu? O ya, aku sendiri kesininya.”
“Gue baru masuk,
baru semester satu. Sorry gue ke sana dulu yaa, sepertinya ada novel yang
menarik di sebelah sana.” Jawabku singkat sambil melenggang pergi
meninggalkannya, walau ada perasaan menyesal karena sepertinya dia ingin menanyakan
nomor handphoneku. Entah kenapa aku lebih senang membuatnya merasa penasaran
terhadapku daripada terlihat terlalu welcome
padanya.
Aku berjalan santai
memasuki rak novel di bagian lain, agak jauh dari rak saat bertabrakan dengan
Rizi. Hmm sepertinya banyak yang cukup
menarik, namun belum ada yang membuatku tergila-gila ingin membelinya. Eiitss..
Kuhampiri novel
kira-kira dengan tebal 6 cm, kubaca judulnya dan kemudian resensi dari cerita
tersebut. Satu kata untuk novel berjudul ‘PEMBALASAN YANG MANIS’ karya Jo
Barrett tersebut, menarik. Aku mengingat tadi
tanteku, Diyandra Cytifa Irania yang biasa dipanggil Cytifa, telah memberikanku
uang dan sepertinya bisa kumanfaatkan untuk membeli novel yang sangat menarik
tersebut, mengingat harganya yang cukup terjangkau olehku. Bagiku novel itu
sangat membuatku penasaran dengan cerita lengkapnya, terutama setelah aku
membaca potongan cerita yang digunakan sebagai resensi dalam novel tersebut.
Novel ‘PEMBALASAN YANG MANIS’ tersebut menceritakan seorang wanita yang
brilian, gesit, dan ambisious namun telah salah memilih laki-laki untuk
dijadikan sebagai kekasihnya. Laki-laki dengan tubuh seksi, rayuan semanis
madu, dan memiliki kepiawaian dalam memuaskan wanita, sayang ia juga culas
seperti serigala. Laki-laki itu berhasil membuat wanita brilian tersebut
menjadi tergila-gila padanya, namun setelah empat tahun bersama, lelaki
tersebut mencampakkan wanita itu seperti sampah. Dalam keterpurukannya wanita
itu sempat berencana membalas mantan kekasihnya dengan membunuh laki-laki itu,
bahkan sempat tersirat beberapa rencana pembunuhan yang kejam untuk ia lakukan.
Tapi apa ia benar-benar akan membunuh mantan pacarnya?
Ya kurang lebih
begitu ceritanya, cerita novel ini membuatku teringat pada mantan kekasihku
yang baru saja mencampakkanku, Adinatra Agistaf Serian. Aku sangat
mencintainya, bahkan aku rela memberikan segala yang kumiliki hanya untuk
dirinya seorang. Dinat adalah laki-laki yang sangat istimewa dimataku walau mungkin
biasa menurut orang lain, karena mereka tidak tahu seperti apa sosok Dinat yang
sangat kucintai ini.
Membaca resensi
buku itu membuat aku tertarik dan ingin tahu apa yang akan dilakukan wanita itu
pada mantannya, siapa tahu ada yang bisa kuikuti walau aku harus membunuh
mantan pacarku. Rasa sakit yang dia berikan kurasa akan impas jika dibayar
dengan nyawanya. Sepertinya buku itu akan banyak mengajarkan beberapa tips cara
membunuh yang baik dan benar, aku harap begitu. Sungguh buku itu membuat aku
tak sabar untuk membacanya dan mempraktekan ilmu-ilmu baruku.
Masih teringat
jelas pertama kali ku mengenal Dinat, yaitu pada acara MABIS (Masa Bimbingan
Siswa) pada saat kami masih duduk di bangku SMA. Seharusnya pada Minggu, 12
Juli 2010 itu aku diminta datang ke Kabupaten untuk mencoba baju pengibaran
PASKIBRA Kabupaten Tangerang, namun karena aku memang sudah capek latihan-latihan
lagi, aku memilih menjadi anggota panitia MABIS bagi adik-adik kelas yang baru
masuk ke SMA kami, SMA Mabhisa Bararanta.
Tanpa aku ketahui
hari itu ada seorang laki-laki yang mulai memperhatikanku, tepatnya saat aku
berdiri di depan mading sekolah. Aku dengan kaus berwarna cokelat dan celana
jeans pendek selutut, rambut sebahu berwarna kemerahan (maklum biasa terkena
matahari tengah hari saat latihan PASKIBRA) yang terurai berhias bandana berwarna
cokelat karamel, dan sandal jepit hitam sepertinya sangat tidak menarik
perhatian laki-laki kecuali laki-laki itu.
Esoknya, aku resmi
menjadi senior MABIS 2009 dan aku menjadi senior pembimbing kelas MABIS 3, yang
tanpa kuketahui merupakan kelas laki-laki itu. Di kelas pun aku hanya tahu ada
murid bernama Adinatra Agistaf Serian dan Lesya yang menjadi kandidat KING
& QUEEN perwakilan dari kelas MABIS 3 tersebut. Selama tiga hari
berturut-turut aku menjadi senior pembimbing dalam acara MABIS tersebut, sampai
akhirnya hari Jum’at tepatnya saat persiapan pergi kemah akbar di daerah
Padarincang, Pandeglang. Pada hari itu sebelum berangkat menuju tempat
perkemahan, ada anak laki-laki tepatnya adik kelasku yang iseng mengerjaiku
untuk ijin sebelum masuk ruangan, sepertinya aku tidak mengenalnya namun karena
aku ingin dikenal sebagai kakak senior yang baik aku pun menurutinya, bodoh. Laki-laki itu terlihat puas bisa
meluluhkan senior yang terkenal galak pada tiga hari belakangan ini. Belakangan
aku tahu dialah kandidat KING & QUEEN yang bernama Adinatra Agistaf Serian
atau Dinat.
Cukup
membingungkan juga sih, kenapa Dinat mengetahui namaku, karena seharusnya Dinat
belum mengenal namaku. Mengingat selama MABIS Dinat tidak pernah berada di
ruangan kelas, tetapi dikarantina di ruangan lain yang khusus kandidat KING
& QUEEN. Sampai akhirnya aku tahu dia dan temannya pernah melihatku sedang
berbicara dengan temanku dan dia bertanya pada temannya siapa namaku.
Dari kesan
pertamaku terhadap Dinat, aku merasa biasa karena masih terbayang sosok Lefan,
seorang laki-laki yang saat itu ku harap menyukaiku juga seperti aku
menyukainya dan juga merupakan teman seangkatanku yang juga menjadi panitia
MABIS pada saat itu. Lefan adalah seorang laki-laki alim yang secara tidak
sengaja jadi seseorang yang sempat ku kagumi. Kenapa aku bilang secara tidak
sengaja? Karena awalnya aku cuma berniat membuat adik kelas yang menyukai
Lefan, aku berpura-pura menjadi seseorang yang juga suka sama Lefan. Tapi
ternyata semua permainan selama 3 hari itu menjadi sesuatu yang berarti buat
diriku sendiri dan justru semakin berniat mendekati Lefan untuk menjadi
kekasihnya.
Sesampainya di
daerah Padarincang, kami masih harus mendaki bukit-bukit untuk sampai ke tempat
perkemahan. Dan saat itu hanya satu yang aku pikirkan, yaitu bagaimana cara
mengangkut tas ranselku yang cukup besar dan berat, belum lagi ada beberapa
plastik yang masih harus kubawa sampai ke tenda sana. Melihat ku kebingungan, Dinat
datang dan menawarkan bantuan. Tentu saja tanpa berpikir panjang aku berikan
tasku dan plastik-plastik itu kepadanya dan segera pergi meninggalkannya, kejam. Tapi sungguh aku tidak sengaja
berlaku seperti itu, karena saat itu aku cuma ingin segera sampai ke tenda di
atas bukit sana dan bertemu Lefan yang
sudah lebih dulu sampai di sana.
Dari jauh sudah
terlihat tenda-tenda kemah yang sudah didirikan oleh panitia, dan yang pasti
ada Lefan juga disana. Saat mataku mulai mencari-cari dimanakah Lefan, ternyata
pemilik nama lengkap Mozaqy Hadinar Alefan ini sedang sibuk menyiapkan kayu
bakar untuk memasak makan siang. Langkah kakiku pun semakin cepat dan memanggil
namanya, dan... Oh my God, he’s so cute when he look at me and smile to me.
Kudekati dan mulai mencari pembicaraan sambil membantunya, sampai aku melupakan
sesuatu yang belakangan kusadari aku melupakan tas dan plastik-plastik yang
tadi kutitipkan pada Dinat. Itupun kusadari saat Dinat sudah sampai dan
menghampiriku hanya untuk bilang bahwa barang-barangku sudah ia letakkan di
depan tendaku.
Menjelang malam
hari, udara yang semakin dingin pun memiliki cerita untuk aku dan anak baru
itu, Dinat. Jam sudah menunjuk pukul 23.00 WIB, tetapi mata ini masih saja
semangat untuk terbuka dan seakan enggan untuk tertutup dan akhirnya ku
memutuskan untuk keluar tenda dan mencari minuman atau makanan yang kiranya
dapat menghangatkan tubuhku yang mulai terasa membeku. Kulihat di luar cukup
ramai dan beberapa siswa baru maupun panitia saling bercengkrama dan
bernyanyi-nyanyi diiringi gitar. Ku duduk disamping anak-anak MABIS 3 yang
sedang asyik menikmati mie hangat yang mereka buat. Dari mereka semua, ternyata
ada Dinat diantaranya dan ia menawarkan mie hangat, awalnya aku menolak tapi ia
memaksa dan akhirnya aku kalah. Semakin malam dan semakin dingin pula, walau
sudah mengenakan baju hangat dan mie
hangat itu pun sudah kuhabiskan tapi keduanya belum bisa membuat tubuhku lebih
hangat. Menyadari hal itu, Dinat pun meminjamkan jaketnya. Sungguh hal yang
membuatku terkagum-kagum olehnya, bagaimana tidak ia rela melepas jaketnya
hanya untuk aku yang bukan siapa-siapa buatnya dan ia hanya mengenakan kaos you can see hitam yang bahkan menurutku
sangat tipis dan terbuka untuk digunakan di tempat yang dingin seperti ini.
Hebatnya lagi ia berkata bahwa ini belum seberapa, sebenarnya ini bocah jagoan atau cuma sok doang. Yang membuat malam itu semakin
berkesan adalah butuh waktu yang cukup lama untuk menghilangkan bekas luka
gigitan serangga yang sembunyi di dalam jaket Dinat dan berhasil menggigit tanganku.
Sabtu pagi di
Padarincang, Pandeglang, seluruh siswa baru maupun para panitia MABIS berencana
melakukan perjalanan menuju air terjun yang letaknya cukup jauh dari tenda kami
dan masih harus menyebrangi sungai untuk mencapainya. Aku mengajak Lefan, Ita
dan Juchian untuk berjalan bersama setelah yang lainnya sudah jalan lebih dulu.
Baru setengah perjalanan tepatnya saat ingin menyebrangi sungai, aku dan Ita
sudah lelah dan memilih untuk beristirahat saja di sungai itu dan tidak
meneruskan perjalanan menuju air terjun itu. Kami berfoto-foto, merebahkan diri
di batu yang besar, bermain air sampai akhirnya rombongan teman-teman kami
datang.
Saat berjalan
pulang menuju tenda adalah saat-saat yang romantis bagiku, ya sebenarnya tidak
hanya saat pulang tapi dari berangkat tanganku terus digenggam oleh Lefan
selama perjalanan. Aku terus tersenyum dan bercanda riang dengan Lefan, dan
yang tak terlupakan saat ia mengajak untuk minum air yang langsung dari mata
airnya. Tanpa ku sadari sedari tadi ada seseorang yang terbakar cemburu di
belakangku melihat aku terus bermesraan dengan Lefan, kuketahui hal ini setelah
menjadi kekasih seseorang itu.
Dan seperti itulah
kira-kira awal perkenalan aku dengan Dinat yang sungguh membekas di hati dan
pikiran aku. Entah sampai kapan aku harus terus terbayang-bayang kenangan masa
lalu itu yang terus membunuh diriku sendiri secara perlahan. Seakan semua
cerita tentang aku dan dia seperti sebuah pisau yang terus menusuk-nusuk
perasaan aku. Masih terasa berat untuk berpisah dengan seorang Dinat.
“Hei malah
melamun, ayo kita ke kasir dan membayar buku yang akan kamu beli! Aku telah
memilih untuk tidak membeli buku apa pun, karena sepertinya tidak ada yang
membuatku jatuh cinta selain buku seharga seratus ribu lebih. Pokoknya setelah
aku menabung nanti, aku akan membeli buku itu. Duh, harus ekstra hemat lagi.”
Rina mengagetkanku dan langsung berbicara panjang lebar, aku hanya berdiri dan
mengikuti langkahnya ke arah kasir. Aku sendiri memilih membeli buku algoritma
dan novel yang tadi sempat kubaca resensinya.