Monday, April 29, 2013

Aku 'eps. 1'_Novel


Sudah hampir dua bulan sejak Dinat memutuskan untuk mencampakkan aku, dan kini aku berjalan sepi melewati trotoar bersama sahabat baruku Rina. Berjalan santai dan pikiranku mulai kembali menerawang masa lalu dan mulai diam walau Rina asyik berbicara. Aku dan Rina berencana mencari buku di salah satu toko buku di dekat kampus kami, sebenarnya kami berdua baru saling mengenal saat masuk ke Universitas yang sama dan fakultas yang sama. Dan sejak saat itu aku berteman dekat dengannya, kami cukup akrab apalagi kami memang pecinta buku walau berbeda minat. Sesampainya di toko buku Rina terlihat sangat terobsesi mencari kesana kemari buku yang kira-kira sesuai dengan permintaan dosen. Aku diam dan mulai melihat buku-buku di rak yang lain walau pikiranku yang sesungguhnya tidak berada di tempat itu.

“Bagaimana menurutmu Cyl, apa kita perlu membeli buku ini?” Tanya Rina sambil menunjuk ke arah buku yang dimaksud, dan dia juga berhasil membangunkanku dari lamunanku.

“Menurutku itu bagus  tapi kayaknya kurang cocok dengan yang kita cari, memang berapa harganya? Kalau masih bisa kebeli mungkin bisa aja untuk sekedar koleksi buku lu Rin.” Jawabku sambil mencoba menutupi supaya Rina tidak sadar kalau sedari tadi aku hanya melamun.

Rina terlihat menimbang-nimbang, sepertinya dia memang ingin sekali membeli buku itu. Lucu saat dia jatuh cinta pada buku yang ada di toko tapi buku itu memiliki label harga yang tidak berteman dengan dompet anak-anak mahasiswa macam aku dan Rina.

Aku memutuskan meninggalkan Rina yang sibuk dengan buku-buku itu, aku terfokus mencari buku utama yang diminta oleh dosen kemarin siang. Setelah mendapatkan yang aku cari, aku sengaja berjalan ke  arah rak buku yang diatasnya tertulis ‘NOVEL’. Maklum namanya juga pecinta buku terutama novel, kalau ke toko buku tanpa beli novel namanya belum afdol, hehe.


Hmm gumamku saat membaca beberapa judul novel yang aku lewati, menarik batinku. Gubrak..

“Maaf.” Kata lelaki itu singkat sambil mengulurkan tangannya membantu aku yang terjatuh setelah ditabraknya.

“Eh.. i..i..yaa..” Kataku terbata-bata sambil menatap wajah laki-laki yang menabrakku itu, entah mimpi apa tadi malam bisa ketemu sama cowok keren seperti dia.

“Kamu enggak apa-apa?” Tanyanya mulai khawatir mungkin dia bingung karena aku terlihat melamun menatapnya. Segera aku sadar dari lamunanku, sejenakku berpikir dia pangeran dari negeri kahyangan mana yaa, haduh pikiran anak TK, hehe.

“Oh, gak, gak apa-apa.” Jawabku sambil merapikan pakaian bagian belakangku yang kurasa terlipat saat aku jatuh tadi.

“Oh baguslah, maaf tadi aku lihat buku yang sudah lama aku cari, jadi pengen buru-buru gitu sampai enggak lihat kamu berdiri disitu. Aku Riziafo, panggil saja Rizi.” Jelasnya panjang lebar dengan sedikit terengah-engah, mungkin karena tadi sedikit berlari atau karena takut aku marah sembari mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku. Tapi kata-katanya kalau tidak melihatku itu pasti bohong, mengingat badanku yang tidak kalah dengan besarnya induk gajah. Huh ingin mendengus kesal.

“Secylva, Panggil aja Secyl. Memang mau ambil buku apa?” Jawabku dengan sok akrab mengingat sepertinya dia tidak beda jauh umurnya dengan umurku dan membalas uluran tangannya, serta sekaligus memberikan pertanyaan yang sengaja mencari-cari pembicaraan dengan lelaki tampan itu.

“Hmm, buku apa ya? Duh kok jadi lupa. Ya sudahlah lupain aja. Memangnya Secyl sendiri mencari buku apa? Pecinta novel ya?”

“Gue sebenarnya ke toko buku ini mau cari buku yang disuruh dosen sebagai buku wajib mata kuliah Algoritma, karena sudah ketemu jadi gue jalan ke sini siapa tahu ada novel menarik.”

“Memang kamu kuliah dimana? Fakultas apa? Sendiri kesininya?” Pertanyaan bertubi-tubi seperti itu membuatku merasa diinterogasi, tapi kalau diinterogasi sama cowok setampan dia sih jadi terasa bukan masalah.

“Di Univ. Galungdirganta, fakultas ilmu komunikasi, engak sendiri kok, gue kesini sama teman gue namanya Rina tapi dia lagi diii... dimana ya? Hmm dia lagi sibuk nyari buku sendiri jadi tadi aku tinggal, sampai lupa. Sendirinya kuliah dimana dan fakultas apa? Sendiri kesininya?” Balasku padanya.

“Wew ceritanya balas dendam nih nanyanya? Aku kuliah di Univ. Pancaindera fakultas hukum. Aku baru semester tiga, kalau kamu? O ya, aku sendiri kesininya.”

“Gue baru masuk, baru semester satu. Sorry gue ke sana dulu yaa, sepertinya ada novel yang menarik di sebelah sana.” Jawabku singkat sambil melenggang pergi meninggalkannya, walau ada perasaan menyesal karena sepertinya dia ingin menanyakan nomor handphoneku. Entah kenapa aku lebih senang membuatnya merasa penasaran terhadapku daripada terlihat terlalu welcome padanya.


Aku berjalan santai memasuki rak novel di bagian lain, agak jauh dari rak saat bertabrakan dengan Rizi. Hmm sepertinya banyak yang cukup menarik, namun belum ada yang membuatku tergila-gila ingin membelinya. Eiitss..

Kuhampiri novel kira-kira dengan tebal 6 cm, kubaca judulnya dan kemudian resensi dari cerita tersebut. Satu kata untuk novel berjudul ‘PEMBALASAN YANG MANIS’ karya Jo Barrett tersebut, menarik. Aku mengingat tadi tanteku, Diyandra Cytifa Irania yang biasa dipanggil Cytifa, telah memberikanku uang dan sepertinya bisa kumanfaatkan untuk membeli novel yang sangat menarik tersebut, mengingat harganya yang cukup terjangkau olehku. Bagiku novel itu sangat membuatku penasaran dengan cerita lengkapnya, terutama setelah aku membaca potongan cerita yang digunakan sebagai resensi dalam novel tersebut. Novel ‘PEMBALASAN YANG MANIS’ tersebut menceritakan seorang wanita yang brilian, gesit, dan ambisious namun telah salah memilih laki-laki untuk dijadikan sebagai kekasihnya. Laki-laki dengan tubuh seksi, rayuan semanis madu, dan memiliki kepiawaian dalam memuaskan wanita, sayang ia juga culas seperti serigala. Laki-laki itu berhasil membuat wanita brilian tersebut menjadi tergila-gila padanya, namun setelah empat tahun bersama, lelaki tersebut mencampakkan wanita itu seperti sampah. Dalam keterpurukannya wanita itu sempat berencana membalas mantan kekasihnya dengan membunuh laki-laki itu, bahkan sempat tersirat beberapa rencana pembunuhan yang kejam untuk ia lakukan. Tapi apa ia benar-benar akan membunuh mantan pacarnya?

Ya kurang lebih begitu ceritanya, cerita novel ini membuatku teringat pada mantan kekasihku yang baru saja mencampakkanku, Adinatra Agistaf Serian. Aku sangat mencintainya, bahkan aku rela memberikan segala yang kumiliki hanya untuk dirinya seorang. Dinat adalah laki-laki yang sangat istimewa dimataku walau mungkin biasa menurut orang lain, karena mereka tidak tahu seperti apa sosok Dinat yang sangat kucintai ini.


Membaca resensi buku itu membuat aku tertarik dan ingin tahu apa yang akan dilakukan wanita itu pada mantannya, siapa tahu ada yang bisa kuikuti walau aku harus membunuh mantan pacarku. Rasa sakit yang dia berikan kurasa akan impas jika dibayar dengan nyawanya. Sepertinya buku itu akan banyak mengajarkan beberapa tips cara membunuh yang baik dan benar, aku harap begitu. Sungguh buku itu membuat aku tak sabar untuk membacanya dan mempraktekan ilmu-ilmu baruku.

Masih teringat jelas pertama kali ku mengenal Dinat, yaitu pada acara MABIS (Masa Bimbingan Siswa) pada saat kami masih duduk di bangku SMA. Seharusnya pada Minggu, 12 Juli 2010 itu aku diminta datang ke Kabupaten untuk mencoba baju pengibaran PASKIBRA Kabupaten Tangerang, namun karena aku memang sudah capek latihan-latihan lagi, aku memilih menjadi anggota panitia MABIS bagi adik-adik kelas yang baru masuk ke SMA kami, SMA Mabhisa Bararanta.

Tanpa aku ketahui hari itu ada seorang laki-laki yang mulai memperhatikanku, tepatnya saat aku berdiri di depan mading sekolah. Aku dengan kaus berwarna cokelat dan celana jeans pendek selutut, rambut sebahu berwarna kemerahan (maklum biasa terkena matahari tengah hari saat latihan PASKIBRA) yang terurai berhias bandana berwarna cokelat karamel, dan sandal jepit hitam sepertinya sangat tidak menarik perhatian laki-laki kecuali laki-laki itu.

Esoknya, aku resmi menjadi senior MABIS 2009 dan aku menjadi senior pembimbing kelas MABIS 3, yang tanpa kuketahui merupakan kelas laki-laki itu. Di kelas pun aku hanya tahu ada murid bernama Adinatra Agistaf Serian dan Lesya yang menjadi kandidat KING & QUEEN perwakilan dari kelas MABIS 3 tersebut. Selama tiga hari berturut-turut aku menjadi senior pembimbing dalam acara MABIS tersebut, sampai akhirnya hari Jum’at tepatnya saat persiapan pergi kemah akbar di daerah Padarincang, Pandeglang. Pada hari itu sebelum berangkat menuju tempat perkemahan, ada anak laki-laki tepatnya adik kelasku yang iseng mengerjaiku untuk ijin sebelum masuk ruangan, sepertinya aku tidak mengenalnya namun karena aku ingin dikenal sebagai kakak senior yang baik aku pun menurutinya, bodoh. Laki-laki itu terlihat puas bisa meluluhkan senior yang terkenal galak pada tiga hari belakangan ini. Belakangan aku tahu dialah kandidat KING & QUEEN yang bernama Adinatra Agistaf Serian atau Dinat.

Cukup membingungkan juga sih, kenapa Dinat mengetahui namaku, karena seharusnya Dinat belum mengenal namaku. Mengingat selama MABIS Dinat tidak pernah berada di ruangan kelas, tetapi dikarantina di ruangan lain yang khusus kandidat KING & QUEEN. Sampai akhirnya aku tahu dia dan temannya pernah melihatku sedang berbicara dengan temanku dan dia bertanya pada temannya siapa namaku.

Dari kesan pertamaku terhadap Dinat, aku merasa biasa karena masih terbayang sosok Lefan, seorang laki-laki yang saat itu ku harap menyukaiku juga seperti aku menyukainya dan juga merupakan teman seangkatanku yang juga menjadi panitia MABIS pada saat itu. Lefan adalah seorang laki-laki alim yang secara tidak sengaja jadi seseorang yang sempat ku kagumi. Kenapa aku bilang secara tidak sengaja? Karena awalnya aku cuma berniat membuat adik kelas yang menyukai Lefan, aku berpura-pura menjadi seseorang yang juga suka sama Lefan. Tapi ternyata semua permainan selama 3 hari itu menjadi sesuatu yang berarti buat diriku sendiri dan justru semakin berniat mendekati Lefan untuk menjadi kekasihnya.

Sesampainya di daerah Padarincang, kami masih harus mendaki bukit-bukit untuk sampai ke tempat perkemahan. Dan saat itu hanya satu yang aku pikirkan, yaitu bagaimana cara mengangkut tas ranselku yang cukup besar dan berat, belum lagi ada beberapa plastik yang masih harus kubawa sampai ke tenda sana. Melihat ku kebingungan, Dinat datang dan menawarkan bantuan. Tentu saja tanpa berpikir panjang aku berikan tasku dan plastik-plastik itu kepadanya dan segera pergi meninggalkannya, kejam. Tapi sungguh aku tidak sengaja berlaku seperti itu, karena saat itu aku cuma ingin segera sampai ke tenda di atas  bukit sana dan bertemu Lefan yang sudah lebih dulu sampai di sana.

Dari jauh sudah terlihat tenda-tenda kemah yang sudah didirikan oleh panitia, dan yang pasti ada Lefan juga disana. Saat mataku mulai mencari-cari dimanakah Lefan, ternyata pemilik nama lengkap Mozaqy Hadinar Alefan ini sedang sibuk menyiapkan kayu bakar untuk memasak makan siang. Langkah kakiku pun semakin cepat dan memanggil namanya, dan... Oh my God, he’s so cute when he look at me and smile to me. Kudekati dan mulai mencari pembicaraan sambil membantunya, sampai aku melupakan sesuatu yang belakangan kusadari aku melupakan tas dan plastik-plastik yang tadi kutitipkan pada Dinat. Itupun kusadari saat Dinat sudah sampai dan menghampiriku hanya untuk bilang bahwa barang-barangku sudah ia letakkan di depan tendaku.

Menjelang malam hari, udara yang semakin dingin pun memiliki cerita untuk aku dan anak baru itu, Dinat. Jam sudah menunjuk pukul 23.00 WIB, tetapi mata ini masih saja semangat untuk terbuka dan seakan enggan untuk tertutup dan akhirnya ku memutuskan untuk keluar tenda dan mencari minuman atau makanan yang kiranya dapat menghangatkan tubuhku yang mulai terasa membeku. Kulihat di luar cukup ramai dan beberapa siswa baru maupun panitia saling bercengkrama dan bernyanyi-nyanyi diiringi gitar. Ku duduk disamping anak-anak MABIS 3 yang sedang asyik menikmati mie hangat yang mereka buat. Dari mereka semua, ternyata ada Dinat diantaranya dan ia menawarkan mie hangat, awalnya aku menolak tapi ia memaksa dan akhirnya aku kalah. Semakin malam dan semakin dingin pula, walau sudah mengenakan baju hangat dan  mie hangat itu pun sudah kuhabiskan tapi keduanya belum bisa membuat tubuhku lebih hangat. Menyadari hal itu, Dinat pun meminjamkan jaketnya. Sungguh hal yang membuatku terkagum-kagum olehnya, bagaimana tidak ia rela melepas jaketnya hanya untuk aku yang bukan siapa-siapa buatnya dan ia hanya mengenakan kaos you can see hitam yang bahkan menurutku sangat tipis dan terbuka untuk digunakan di tempat yang dingin seperti ini. Hebatnya lagi ia berkata bahwa ini belum seberapa, sebenarnya ini bocah jagoan atau cuma sok doang. Yang membuat malam itu semakin berkesan adalah butuh waktu yang cukup lama untuk menghilangkan bekas luka gigitan serangga yang sembunyi di dalam jaket Dinat dan berhasil menggigit tanganku.

Sabtu pagi di Padarincang, Pandeglang, seluruh siswa baru maupun para panitia MABIS berencana melakukan perjalanan menuju air terjun yang letaknya cukup jauh dari tenda kami dan masih harus menyebrangi sungai untuk mencapainya. Aku mengajak Lefan, Ita dan Juchian untuk berjalan bersama setelah yang lainnya sudah jalan lebih dulu. Baru setengah perjalanan tepatnya saat ingin menyebrangi sungai, aku dan Ita sudah lelah dan memilih untuk beristirahat saja di sungai itu dan tidak meneruskan perjalanan menuju air terjun itu. Kami berfoto-foto, merebahkan diri di batu yang besar, bermain air sampai akhirnya rombongan teman-teman kami datang.

Saat berjalan pulang menuju tenda adalah saat-saat yang romantis bagiku, ya sebenarnya tidak hanya saat pulang tapi dari berangkat tanganku terus digenggam oleh Lefan selama perjalanan. Aku terus tersenyum dan bercanda riang dengan Lefan, dan yang tak terlupakan saat ia mengajak untuk minum air yang langsung dari mata airnya. Tanpa ku sadari sedari tadi ada seseorang yang terbakar cemburu di belakangku melihat aku terus bermesraan dengan Lefan, kuketahui hal ini setelah menjadi kekasih seseorang itu.

Dan seperti itulah kira-kira awal perkenalan aku dengan Dinat yang sungguh membekas di hati dan pikiran aku. Entah sampai kapan aku harus terus terbayang-bayang kenangan masa lalu itu yang terus membunuh diriku sendiri secara perlahan. Seakan semua cerita tentang aku dan dia seperti sebuah pisau yang terus menusuk-nusuk perasaan aku. Masih terasa berat untuk berpisah dengan seorang Dinat.


“Hei malah melamun, ayo kita ke kasir dan membayar buku yang akan kamu beli! Aku telah memilih untuk tidak membeli buku apa pun, karena sepertinya tidak ada yang membuatku jatuh cinta selain buku seharga seratus ribu lebih. Pokoknya setelah aku menabung nanti, aku akan membeli buku itu. Duh, harus ekstra hemat lagi.” Rina mengagetkanku dan langsung berbicara panjang lebar, aku hanya berdiri dan mengikuti langkahnya ke arah kasir. Aku sendiri memilih membeli buku algoritma dan novel yang tadi sempat kubaca resensinya.

No comments:

Post a Comment