Thursday, August 21, 2014

Daun Hijau

Belum lama ini orang terdekatku memilih untuk mengakhir masa lajangnya. Tepat pada hari ulang tahun negaraku, Indonesia, ke 69, sahabatku mengikrarkan janji suci atas nama Tuhan Sang Pencipta. Betapa bahagia turutku rasakan melihat raut kebahagiaan dan lukisan senyuman di wajahnya. Namun entah mengapa semua terasa ada yang mengganjal. Entah iri, entah kehilangan. Aku masih bisa melihatnya, menyentuhnya, bahkan bercengkerama dengannya, bahkan tertawa lepas bersamanya aku masih mampu, sangat mampu. Tapi ini berbeda, seperti ada yang salah. Tak berani kukatakan, aku rindu. Entah rindu pada apa, karena sebenarnya ia tidak berubah. Ia hanya menjadi seorang makmum bagi imamnya. Tak salah baginya menghalalkan dirinya atas nama Agama, tak salah ia jika sempurnalah kini Agamanya. Lalu, sahabat seperti apakah yang merasakan ragu di atas kebahagiaan sahabatnya sendiri?

Kini ku berada di depannya. Aku berdiri tepat menghadapnya, masuk jauh ke dalam pancaran cahaya dari matanya, ia bahagia. Aku mematung seolah aku bukan manusia, bukan makhluk hidup yang diajaknya bicara. Aku meresponnya, bukan aku benar-benar diam. Tapi melihat keseluruhan wajah itu, aku tak mengenalnya lagi. Seperti ia telah jauh pergi dan tak akan kembali. Seperti ada sayap tumbuh dari tubuhnya, seperti ia memakai baju gamis putih yang indah dengan balutan kerudung yang tak kalah cantiknya menghiasi juga menutupi auratnya. Ia cantik, ia baik, ia terlalu sempurna. tapi kini perlahan mulai terkembang sayap dengan bulu sehalus sutera seputih kapas, ia pergi.

Aku...aku...apa aku baik-baik saja..? Aku bertanya pada diriku sendiri. Lucu, ada air yang mengalir dipipiku, ada isak yang kudengar dalam dadaku, ada raungan kesedihan, tapi ini sunyi. Aku hanya merasakan dan mendengarkan, tapi tidak melakukan. Aneh, kenapa harus aku seperti ini? Pernikahan seorang wanita seusiaku bukanlah hal yang tabu, aku sudah dewasa, dia pun juga, pernikahan bukan hal yang baru. Selebaran undangan datang silih berganti. Tapi semua menjadi biasa jika ia bukan sahabatku. Tapi menjadi istimewa ketika seekor ulat kecil yang selalu ada di dekatmu berubah menjadi seekor kupu-kupu cantik yang siap pergi menantang dunia tanpamu. Akulah yang di dekatnya dan dialah kupu-kupu itu. Selamat menempuh hidup barumu. Aku akan selalu ada untukmu. Salamku untukmu dari Daun Hijau, sahabatmu.

Tuesday, August 5, 2014

AKu, Anak Kecil dan Laki-Laki Kekar

       Jari-jari ini kembali menari di atas keyboard laptopku, kubiarkan kata-kata yang ada dipikiranku mengalir begitu saja dan kuaplikasikan menjadi rangkaian kata, rangkaian kalimat, hingga menjadi suatu cerita. Entah apa yang ingin kuceritakan, semua kuketik begitu saja tanpa tujuan. Aku hanya ingin berbagi terhadap apa yang ingin kusampaikan kepada teman-teman yang mungkin akan membaca tulisan ini. Aku bukanlah penulis handal apalagi profesional, aku hanyalah penulis abal yang hanya bisa menceritakan apa yang sedang dirasakan secara pribadi.
      Saat ini aku melihat sekelilingku, anak-anak yang bermain gembira, penambal ban yang sedang bersantai di atas bale-bale miliknya, seorang ibu yang mengantar anaknya les, dan seorang kakek yang duduk diam seperti sedang merenungi sesuatu. Dunia terasa sama saja sekalipun terdapat masalah yang menimpa orang-orang, masyarakat, negara dan dunia yang semakin ruwet diberitakan media. Tapi jika melihat ke arah bawah, nikmat rasanya seolah tidak memedulikan suatu masalah dan terus menjalani hidup hingga Yang Kuasa mengatakan untuk berhenti. Seandainya aku bisa menjadi seseorang yang lebih banyak bersyukur tanpa peduli dengan segala halang rintang hidup yang ada.
        Lihat, anak itu berlari, tertawa dan bercengkerama dengan teman-temannya. Hey, ada seorang laki-laki dengan tubuh kekar, kulit sawo matang, rambut yang acak-acakan menyembul dari balik topi kusam miliknya, serta dengan peluh yang mengalir dari kening hingga lehernya. Mereka berdiri berdampingan, iya anak itu dengan laki-laki itu, tapi semua seolah tidak saling melihat satu sama lain. Laki-laki itu kembali menghisap rokoknya dalam-dalam dan memungut beberapa botol dari karung yang berada di depannya dan memasukkan botol itu ke dalam karung miliknya dan kemudian ia kembali berjalan. Anak itu? Ia masih berlari, tertawa, dan bercengkerama dengan temannya. Aku berpikir, apa cuma aku yang melihat laki-laki itu?
      Ibu yang mengantar anaknya sibuk mengambil sesuatu dari tasnya, mungkin ingin mengambil dompet atau handphone, ia terlihat tetap mencari tapi tidak ada apa pun yang ia keluarkan dari tasnya. Perhatikan anaknya itu, apa yang sedang dilihatnya? Ia sedang melihat dengan tatapan iba. Astaga, aku salah, bukan hanya aku yang melihat laki-laki dengan tubuh kekar itu, tapi anak si ibu itu pun melihatnya. Tanpa diketahui ibunya, anak itu mengeluarkan satu bungkus roti dari dalam tas ransel biru muda miliknya, ia berjalan ke arah laki-laki itu dan memberikan roti itu padanya. Aku kini diam, terpaku, aku malu. Aku yang melihat laki-laki itu juga, aku pun memperhatikan apa yang dilakukannya, tapi aku tidak lebih mulia dari anak kecil itu yang paham bahwa laki-laki itu lapar. Aku tidak sadar, tidak memperhatikan dengan seksama, bahwa sedari tadi laki-laki itu memegang perutnya. Lalu, jika ia bisa membeli sebatang rokok, mengapa ia tidak dapat membeli sebungkus roti?

Monday, August 4, 2014

Waktu

     Ini semua memang hanya karena waktu, ketika waktu berbicara maka segala sesuatunya akan terjawab. Sekalipun tanpa pertanyaan yang tertulis, jawaban akan muncul dengan sendirinya dan pada waktunya. Seperti apa yang terjadi antara aku dan dia. Menunggu dan mencintai dia entah sudah berapa lama hal itu tidak pernah berhenti dan entah kapan akan berhenti. Yang aku rasakan hanya rasa lelah dengan semua yang tak pernah terbalas. Mungkin yang aku rasakan memang bukanlah rasa cinta, mungkin hanya rasa suka, kagum, penasaran atau apalah namanya. Karena cinta tidak akan pernah sedikitpun merasa lelah untuk terus berjuang mempertahankan perasaan itu ke dia. Semua ini hanya seperti memenjarakan aku di dalam hatiku sendiri.
       Berapa kali ku berusaha, mencoba mengelak, mencoba munafik atas perasaan yang masih membara tapi semua terasa sia, aku masih mencintai dia, atau lebih tepatnya masih merasa penasaran bagaimana jika aku bersanding dengannya. Berkali aku ganti pasangan, berkali-kali pula dia pun berganti pasangan. Aku tak pernah cemburu, aku selalu bahagia jika dia bahagia dengan pasangannya. Aku pun bahagia dengan pasanganku. Jadi apa yang menjadi masalah diantara kami? Hanya penasaranku untuk memilikinya. Bahkan aku pun merasa tidak yakin akan keutuhan rasa itu jika suatu saat aku berhasil memilikinya.
       Suatu ketika aku pun mengatakan satu kalimat yang merupakan judul sebuah lagu yaitu "never mind I'll find someone like you" kepada dia. Aku menanamkan dengan teguh semangat baru untuk mencari orang yang akan menjadi pemilik hati ini sesungguhnya. Orang yang membuat aku penasaran terhadapnya, yang membuat aku merasa tak pernah lelah menunggunya, orang yang aku cintai lebih dari rasa kagum yang ada kepada dia. Aku terus mencari mencari dan mencari, tapi aku tidak menemukannya sampai aku yang ditemukan oleh seseorang yang bisa membuat aku tersenyum hanya dengan membayangkan wajahnya tersenyum kepadaku. Aku jatuh cinta.
       Kini aku sadar, aku salah. Aku tidak akan pernah menemukan seseorang yang seperti dia. Dan akan menjadi masalah jika aku menemukan orang yang seperti dia. Karena aku tidak mencintai dia seperti arti cinta yang sebenarnya, aku hanya sebatas kagum sebatas rasa ingin memiliki, tapi kalah dengan rasa bosan dan lelah yang akan hadir nantinya. Berbeda dengan orang yang baru ini, ia membuatku jatuh cinta pada arti yang sebenarnya. Aku bukan hanya ingin memilikinya, aku egois terhadapnya, karena aku merasa cemburu jika bukan aku yang memiliki ia.
       Seiring waktu bergulir, aku temukan jawaban dari pertanyaan yang tidak pernah ada. Tentang rasa, rasa cinta. Aku menang atas perasaan yang membelengguku selama ini. Aku bebas. Dia bebas. Kami bebas.