Jari-jari ini kembali menari di atas keyboard laptopku, kubiarkan kata-kata yang ada dipikiranku mengalir begitu saja dan kuaplikasikan menjadi rangkaian kata, rangkaian kalimat, hingga menjadi suatu cerita. Entah apa yang ingin kuceritakan, semua kuketik begitu saja tanpa tujuan. Aku hanya ingin berbagi terhadap apa yang ingin kusampaikan kepada teman-teman yang mungkin akan membaca tulisan ini. Aku bukanlah penulis handal apalagi profesional, aku hanyalah penulis abal yang hanya bisa menceritakan apa yang sedang dirasakan secara pribadi.
Saat ini aku melihat sekelilingku, anak-anak yang bermain gembira, penambal ban yang sedang bersantai di atas bale-bale miliknya, seorang ibu yang mengantar anaknya les, dan seorang kakek yang duduk diam seperti sedang merenungi sesuatu. Dunia terasa sama saja sekalipun terdapat masalah yang menimpa orang-orang, masyarakat, negara dan dunia yang semakin ruwet diberitakan media. Tapi jika melihat ke arah bawah, nikmat rasanya seolah tidak memedulikan suatu masalah dan terus menjalani hidup hingga Yang Kuasa mengatakan untuk berhenti. Seandainya aku bisa menjadi seseorang yang lebih banyak bersyukur tanpa peduli dengan segala halang rintang hidup yang ada.
Lihat, anak itu berlari, tertawa dan bercengkerama dengan teman-temannya. Hey, ada seorang laki-laki dengan tubuh kekar, kulit sawo matang, rambut yang acak-acakan menyembul dari balik topi kusam miliknya, serta dengan peluh yang mengalir dari kening hingga lehernya. Mereka berdiri berdampingan, iya anak itu dengan laki-laki itu, tapi semua seolah tidak saling melihat satu sama lain. Laki-laki itu kembali menghisap rokoknya dalam-dalam dan memungut beberapa botol dari karung yang berada di depannya dan memasukkan botol itu ke dalam karung miliknya dan kemudian ia kembali berjalan. Anak itu? Ia masih berlari, tertawa, dan bercengkerama dengan temannya. Aku berpikir, apa cuma aku yang melihat laki-laki itu?
Ibu yang mengantar anaknya sibuk mengambil sesuatu dari tasnya, mungkin ingin mengambil dompet atau handphone, ia terlihat tetap mencari tapi tidak ada apa pun yang ia keluarkan dari tasnya. Perhatikan anaknya itu, apa yang sedang dilihatnya? Ia sedang melihat dengan tatapan iba. Astaga, aku salah, bukan hanya aku yang melihat laki-laki dengan tubuh kekar itu, tapi anak si ibu itu pun melihatnya. Tanpa diketahui ibunya, anak itu mengeluarkan satu bungkus roti dari dalam tas ransel biru muda miliknya, ia berjalan ke arah laki-laki itu dan memberikan roti itu padanya. Aku kini diam, terpaku, aku malu. Aku yang melihat laki-laki itu juga, aku pun memperhatikan apa yang dilakukannya, tapi aku tidak lebih mulia dari anak kecil itu yang paham bahwa laki-laki itu lapar. Aku tidak sadar, tidak memperhatikan dengan seksama, bahwa sedari tadi laki-laki itu memegang perutnya. Lalu, jika ia bisa membeli sebatang rokok, mengapa ia tidak dapat membeli sebungkus roti?
No comments:
Post a Comment